Selasa, 10 Maret 2009

Jogja 2020

Jogja Doeloe itu...

Saya memang tidak mengalami bagaimana tinggal di Jogja pada masa dulu. Karena mungkin orang tua saya saja belum pacaran.. he3 tetapi saya belajar dari internet dan sudah tahu beberapa gambarannya kasarannya.


Seperti yang kita bisa kita lihat pada gambar di atas, tugu jogja terlihat sepi sekali berbeda dengan sekarang yang sudah tidak jarang lagi orang-orang bernarsis ria foto di bawahnya. Apalagi jalannya, dulu itu tidak ada aspal seperti sekarang ini. Itu orang dengan santai berjalan di tengah jalan tanpa memperhatikan kanan kirinya. Kalau jogja sekarang orang itu sudah ketabrak mobil kali.

Gambar di atas ini adalah gmabar jalan malioboro d waktu dulu. Tidak ada motor, yang ada hanya sepeda untuk kalangan bawah, dan mobil untuk kalangan atas atau pejabat-pejabat Negara.

Dapat dilihat sepertinya polusi d waktu itu masih belum terlalu marak.

Mari kita bandingkan dengan Jogja masa kini…






Bisa kita lihatkan, apa yang saya katakan tadi kalau orang itu jalan di tugu jogja yang sekarang ini. Sudah banyak motor, dealer motor dan mobil semakin bertambah banyak, sepeda berkurang. Listrik sudah masuk tuh bisa di lihat tiang listriknya. Tapi tentu saja polusinya juga bertambah.





Gambar kali ini adalah gambar jalan malioboro sekarang. Banyak toko bermunculan, banyak becak, banyak motor, banyak macet, banyak polusi. Tambah panas juga tentunya.


Tetapi yang saya suka di sini adalah masih lestarinya becak-becak yang sepertinya menjadi mascot jogja ini. Mungkin memang sengaja oleh pemerintah daerah supaya becak dan andong ini tetap ada sampai kedepannya. Less pollution sih, tapi bikin macet soalnya sopir becaknya seringnya nggak tahu aturan lalu lintas dan semaunya sendiri.




Tetapi yang saya paling suka adalah Jogja pada waktu malam hari. Banyaknya panorama malam dengan lampu yang berwarna-warni sepanjang jalan. Jogja tambah malam tambah ramai. Jadi, Jogja itu ramai biasanya kalau pagi sekitar jam 7an karena orang-orang pada berangkat ke sekolah atau ke kantor dan pada waktu malam. Pada jalan-jalan, pacaran keliling Jogja nggak jelas gitu, hang out, apalagi di Malioboro menjelang Maghrib di depan Gedung Agung banyak sekali orang-orang muda duduk-duduk di taman kota, kayak nggak ada kerjaan lainnya aja. Tetapi mumgkin bagi mereka itu asyik dan bersensasi.


Tetapi…..



Mulailah saat-saat awal kehancuran Jogja…


Karena manusia itu tak akan pernah puas, di bangunlah macam-macam kebutuhan yang sebenarnya nggak perlu-perlu amat sih. Ya selain polusi itu, lapisan ozon menipis, dan lain-lain. Mereka nggak sadar kalai itu adalah sebuah titik untuk memulai suatu bencana yang sangat merugikan, nggak ada bencana yang nggak merugikan. Contohnya aja tahun 2006 lalu tak disangka-sangka Jogja diguncang gempa besar berskala 6 skala Richter.

Saya merasakan sekali peristiwa itu. Sampai jalan kaki dari sekolah ke rumah yang lumayang jauh. Sambungan telepon terputus,jalanan macet karena ada gossip adanya tsunami dari arah Laut Selatan. Padahal waktu itu dari arah utara orang malah mau mengungsi ke selatan karena takut gunung Merapi akan meletus. Akhirnya lalu lintas semrawut. Sampai-sampai saya melihat mayat yang sudah di bungkus kain kafan di ambulans yang pintunya tidak ditutup sehingga kelihatan. Hiiiii.



Pemandangan yang lebih lebih parah dapat dilihat di daerah Bantul sana, seperti pada gambar di atas, jalanan banyak yang retak, rumah banyak hancur .



Tak lama kemudian disusul dengan Puting Beliung di Lempuyangan.Yang menghancurkan sebagian wilayah Jogja, belum lagi banjir yang selalu terjadi, walaupun tidak begitu tinggi seperti di Jakarta, tetapi itu sangat mengganggu lalu lintas. Lihat saja di jalan bagian sebelah Selatan Duta Wacana tiap kali hujan deras sedikit saja langsung banjir, kadang-kadang malah sampai ke halaman kampus, entah karena selokannya tersumbat atau apalah. Inilah, orang-orang sering nggak sadar apa yang telah mereka lakukan. Bayangkan setiap orang yang membuang sampah sembarangan bilang, ah Cuma buang satu sampah aja kok. Tetapi nggak Cuma 1 orang kan yang bilang begitu. Sampah 1 ntar tambah lagi 1 tambah lagi lama-lama kan jadi menyumbat aliran air.








Ini adalah view yang tidak ingin saya lihat di Jogja yang akan datang. Karena ulah manusia global warming ini dipercepat berkali-kali lipat. Karena ini merupakan hal yang paling berat adalah menyadarkan mereka. Entah orang-orang kalangan bawah yang tidak mendapat pendidikan yang cukup dan orang kalangan atas yang menebang pohon secara liar karena mereka punya kuasa.


Ini mungkin pandangan sempit Jogja yang akan dating oleh orang-orang yang mempunyai mimpi yang sangat ketinggian. Jogja 2020 seperti ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Di mana ada becak dan andong? Mungkin kalau masa depannya seperti ini bacak dan andongnya bisa terbang. Atau Jogja 2020 ini adalah Jogja yang telah diinvasi oleh Alien.

Bangunannya bisa saja dirubah seperti itu kalau punya dana. Tetapi otak manusianya susah untuk diperbaiki. Pertamanya mungkin saya akan berkata inilah besok Jogja 2020. Tetapi setelah tersadar dari mimpi saya akhirnya mengerti. Sekarang tahun 2009, bisakah Jogja berubah menjadii seperti itu dengan jangka waktu 11 tahun. Berarti 2x ganti pemerintahan , bisakah mengganti jogja dengan yang seperti itu? Maunya sih, Jogja yang tahan bencana, mungin bisa dibuat kota terapung, banjir nggak akan ada, gempa tinggal goyang-goyang aja. Cuma mungkin tinggal Puting Beliung. Apakan ada kota yang tahan semua bencana? Nggak ada kan? Amerika aja yang katanya Negara adikuasa tetap nggak bisa menganggulangi semua bencana alamnya kok.

Sebernarnya yang perlu di benahi untuk menyongsong Jogja 2020 yang lebih baik adalah perbaikan mutu sumber daya manusianya. Karena manusialah yang merusak alam, merusak sistem yang sudah ada demi kepuasannya sendiri. So, jadilah warga bumi yang baik, bersahabat dengan alam, jangan rusak sistem yang telah ada, mulailah dari hal yang kecil maka itu akan sangat berarti demi kelangsungan kita bersama di Jogja kita tercinta ini maupun di dunia….

0 komentar: